Janganlah melihat orang hanya saat suksesnya. Lihat juga perjuangan menuju sukses itu. Hanya itu yang bisa saya simpulkan. Saat menulis naskah ini. Untuk menandai meninggalnya konglomerat Eka Tjipta Widjaja (26 Januari 2019). Pada usianya yang 98 tahun. Pukul 19:43. Sabtu lalu.
Saya sudah sangat lama tidak
bertemu beliau. Beliau memang sudah sangat lama tidak aktif. Semua bisnis sudah
diserahkan kepada anak-anaknya. Yang ternyata sangat mampu. Menjadikan grup
Sinar Mas tetap yang terkaya di Indonesia. Dari anaknyalah saya sesekali
mendengar kabar tentang beliau.
Misalnya saat beliau sakit.
Atau saat baru sembuh. Setelah ganti seluruh tulang pinggulnya. Pada usia 98
tahun baru meninggal. Betapa panjang usianya. Betapa jarang laki-laki yang bisa
mencapai usia itu. Saya masih bisa bertemu anaknya: Franky Wijaya.
Yang menjadi pengendali grup
usahanya. Atau Teguh Ganda Wijaya. Bos besar usaha bidang kertasnya. Yang
menguasai dunia. Sering juga bertemu anaknya yang lain. Dari istri yang lain.
Chandra, pemilik real estate besar di Surabaya: Pondok Chandra Indah. Dengan
Franky saya sesekali bertemu. Dalam bakti sosial Budha Tzu Chi. Sebuah agama
yang melarang umatnya membangun rumah ibadah. Juga melarang umatnya sembahyang.
Sembahyangnya adalah berbuat
baik. Pada orang lain. Terutama pada orang yang lagi susah. Tempat ibadahnya
adalah daerah-daerah miskin. Agama itu berpusat di Hualian, pantai timur
Taiwan. Saya sudah pula ke sana. Bersama Franky. Franky sudah jadi konglomerat.
Tapi tetap angkat-angkat karung saat bakti sosial.
Agama ini juga punya jaringan
stasiun TV DAAI (baca: Ta Ai). Yang hanya menyiarkan kebaikan. Saya beberapa
kali bertemu Pak Eka Tjipta Widjaja. Di Jakarta atau di Surabaya. Pernah juga
menjadi moderatornya. Saat beliau didaulat menjadi pembicara.
Dalam sebuah seminar
enterpreneur. Saya juga pernah menulis satu buku kecil tentang Pak Eka. Yang
terbit 30 tahun lalu. Saat umur saya masih 40 tahun. Dan usia Pak Eka masih 70
tahun. Saya tidak pernah lupa cerita beliau. Tentang awal-awal memulai jadi
pengusaha. Bahkan awal kehidupannya di Makassar.
Saat umurnya baru 9 tahun. Pada
umur sekecil itu Eka ikut kapal. Dari daerah Hokkian. Mengarungi lautan bebas.
Menyusul ayahnya. Yang sudah lebih dulu ke Makassar. Sang ayah waktu itu sudah
punya rumah. Meski dindingnya terbuat dari bambu (gedhek).
Dan atapnya dari rumput.
Mungkin maksudnya: daun rumbia. Sang ayah sudah punya usaha kecil-kecilan. Toko
sederhana. Eka tidak ingin sekolah dulu. Ingin membantu ayahnya. Yang ia pilih
adalah: menjajakan barang mirip yang ada di toko ayahnya. Ke kampung-kampung.
Ia tidak mau hanya ikut menjaga
toko. Tapi memilih ‘jemput bola’ ke rumah konsumen. Masih kecil. Hanya bisa
bicara Hokkian. Tapi sudah punya cara dagang yang berbeda. Ketika umurnya 12
tahun ayahnya minta Eka sekolah.
Di sekolah Tionghoa Makassar.
Ketika ditest kemampuannya masih terbatas. Tertinggal dari umurnya. Eka harus
memulai dari kelas satu. Eka tidak mau. Ia ingin langsung kelas tiga. Ia sangat
malu.
Kalau harus satu kelas dengan
anak umur 7 tahun. “Saya terus pegangi kaki kepala sekolah. Saya sembah. Saya
ciumi kaki itu,” ujar Eka. Kepala sekolah iba. Eka dimasukkan kelas tiga. Tapi
bahasa Mandarin pun belum bisa. Semua pesimis Eka akan bisa naik kelas. Yang
bikin guru jengkel adalah pemberontakannya.
Terutama guru berhitung. Eka
tidak mau ikut urutan pelajaran hitung: tambah-kurang-bagi-kali. Eka selalu
memulai dari kali-tambah-kurang-bagi. “Kalau belum-belum sudah dikurangi dan
dibagi mana cukup,” katanya mengenang.
Sampai-sampai guru
menjintingnya. Memegang dua kakinya. Dijantur. Kaki di atas. Kepala di bawah.
“Hayo, sekarang berjalanlah. Bisa nggak,” bentak sang guru. Sambil terus
memegang dua kaki Eka di atas. “Tidak bisa. Ampun,” teriak Eka. “Nah begitu
juga berhitung. Tidak bisa dibalik-balik,” ujar sang guru. Seperti yang
diceritakan Eka.
Tamat SD Eka tidak mau sekolah
lagi. Logikanya: sekolah agar bisa bekerja. Saya harus bisa bekerja tanpa
sekolah. Kalau siang untuk sekolah tidak bisa bekerja. Kalau siang untuk
bekerja bisa sekolah malam.
Siang hari Eka bekerja. Hasil
kerjanya untuk memanggil guru. Malam hari. Belajar di rumahnya. Ijazahnya
memang hanya SD tapi pengetahuannya tidak kalah dengan tamatan SMA. Plus
pengalaman kerja.
Setamat SD Eka mendatangi
grosir. Ingin dipinjami biskuit 4 kaleng. Untuk dijual. Bayar setelah
biskuitnya laku. Tidak ada yang mau memberinya biskuit. Dianggap masih
anak-anak. Eka lantas menyerahkan ijazah SD-nya.
Sebagai jaminan. Dapatlah ia 4
kaleng biskuit. Dari toko yang ia ingat betul namanya: Ming Heng. Habis dalam
dua hari. Uang pun disetor. Untuk ambil yang baru. Lama-lama ambil enam kaleng.
Ijazah dikembalikan. Eka sudah mendapat kepercayaan penuh. Eka lantas bisa
membeli sepeda. Cukup untuk mengangkut enam kaleng biskuit.
Omsetnya tidak pernah lagi naik.
Kapasitas sepedanya terbatas 6 kaleng. Omsetnya baru naik ketika Eka bisa
membeli becak bekas. Yang tidak ada joknya. Khusus untuk angkut biskuit. Bisa
18 kaleng. Eka membayar tukang becak. Lima gulden sebulan.
Dalam empat tahun ia bisa
mengumpulkan tabungan 2.500 Gulden. Ia minta ijin ayahnya. Memperbaiki rumah.
Habis 1.000 Gulden. Dinding bambu diganti dengan kayu. Atap daun diganti seng.
Sisanya ditabung. Ingin sekolah ke Tiongkok. Atau ke Hongkong.
Sambil mencari tambahan
tabungan itu ia ikutkan arisan tender. Caranya: siapa yang mau memberi bunga
tertinggi yang menang. Belum ada deposito waktu itu. Orang seperti Eka tidak
akan bisa diterima bank.
Tahun 1941 Jepang masuk
Makassar. Keadaan kacau. Ekonomi hancur. Tabungan itu hilang bersama yang
menang tender. Itulah kejatuhan pertama Eka. Masih remaja sudah merasakan
ludes. Ia pun tidak tahu apa yang bisa dikerjakan.
Di zaman perang seperti itu. Ia
lebih banyak bermain di pantai Losari. Saat duduk-duduk di bebatuan itulah ia
kaget. Ada truk tentara yang membuang sampah. Di tanah tidak jauh dari pantai.
Sampah itu bukan sembarang sampah. Tapi reruntuhan bekas perang.
Barang-barang dari gudang yang
terbakar: besi, kayu, karung-karung terigu, karung semen, seng dan sebagainya.
Tiap hari truk itu membuang rongsokan ke situ. Eka berpikir semua rongsokan itu
bisa jadi uang.
Tapi bagaimana mengangkutnya.
Uangnya habis. Tabungannya ludes. Tapi orang yang membuang rongsokan itu pasti
perlu minum. Maka Eka mendirikan warung di dekatnya. Memasak kopi. Menyediakan
meja kursi. Yang dibawa dari rumahnya. Ternyata laku. Kopinya selalu habis.
Lalu ibunya ia minta bikin ayam
rebus. Ayam putih. Disajikan bersama kopi. Ayam putihnya itu tidak laku. Ia
panik. Modal beli ayam itu yang terbesar. Bukan kopi. Justru tidak laku. Ia
kepepet. Nekat. Ia datangi komandan Jepang.
Ia minta mencicipinya secara
gratis. “Saya beri sepotong saja. Tidak berani memberi banyak. Takut ayamnya
habis tanpa mendapat uang,” guraunya. Harapannya terkabul. Sang komandan
menyukainya. Anak buahnya membeli.
Tiap hari ayam putihnya habis.
Tapi tujuannya bukan jualan ayam. Yang utama cari modal. Untuk bisa mengangkut
rongsokan-rongsokan yang menggunung itu. Halaman rumahnya pun penuh rongsokan.
Juga tanah kosong di sebelah rumahnya.
Besi-besi diluruskan. Seng-seng
diratakan. Terigu yang kelihatan terbakar dibuka. Bagian luarnya dibuang.
Terigu yang masih baik dikumpulkan. Karung dicuci. Dikeringkan. Untuk mewadahi
terigu yang masih baik.
Semen-semen yang sudah membatu
ditumbuk. Yang masih baik dikumpulkan. Dikarungi lagi. Persoalannya: terigu
bekas harganya murah. Maka Eka mempelajari cara menjahit karung. Yang bisa
sesempurna jahitan pabrik. Agar dikira semuanya masih baru. Ia beli jarum di
toko.
Ia praktekkan cara menjahit
karung yang baik. Berhasil. Terigu ia jual. Setiap hari. Semen tidak ia jual.
Tunggu momentum. Toh dari jualan terigu sudah cukup untuk bisa hidup. Lalu ia
pelajari: untuk apa orang beli semen. Ternyata banyak yang dipakai untuk
membangun kuburan. Kuburan Tionghoa.
Eka pun mencari siapa tukang
makam terbaik. Ia ajak joint. Ia beri ‘saham’ 20 persen. Hasilnya
menggembirakan. Dalam setahun bisa membangun 8 makam. “Bagian depan makam dekat
bandara Makassar itu saya semua yang bangun,” katanya. Nilai semennya lebih
tinggi daripada dijual dalam bentuk semen.
Dari bisnis barang rongsokan
itu Eka bisa menabung Rp 20.000. Waktu itu harga sebuah rumah tembok Rp 1.000.
Stock rongsokannya pun habis. Eka lantas ingin bisnis minyak goreng.
Ia sudah tahu di mana pusat
penghasil minyak goreng: Selayar. Sebuah pulau di Selatan Sulawesi. Perlu naik
kapal satu malam penuh untuk ke sana. Ia pun berangkat. Semua tabungan dibawa.
Diikatkan di pinggang secara merata. Ia tahu tidak bisa beli secara utang.
Harus kontan.
Di Selayar ia bisa kulakan
4.000 kaleng minyak goreng. @18 liter. Ia mendapat diskon 20 persen. Karena
membayar kontan. Ia mabuk. Tidak mampu berdiri. Pun waktu kapal sudah tiba
kembali di pelabuhan Makassar. Ia harus pegangan tiang listrik dulu. Lama.
Sebelum bisa berjalan tegak. “Mabuk tapi hati sangat gembira. Semangat sekali,”
katanya.
Baru beberapa hari di Makassar
keluarlah peraturan pemerintah Jepang. Penjualan minyak goreng hanya boleh
dilakukan pihak Jepang. Milik swasta harus diserahkan. Dengan harga dipatok. Rp
1,5/liter. Eka Tjipta, yang waktu itu namanya masih Ek Tjhong, bangkrut untuk
kedua kalinya.
Masih muda sudah merasakan
‘jatuh’ dua kali. Hidup pun susah. Untuk semua orang. Berbulan-bulan tidak
makan roti. Bukan tidak punya uang tapi sulit mendapatkan roti. Beli roti harus
antre. Satu orang dibatasi maksimal dua roti.
Hari itu ia sangat ingin beli
roti. Ia antre. Beli dua. Tapi hanya diberi satu. Ia marah. Tetap tidak diberi.
Ia lemparkan roti yang di tangannya ke muka penjualnya. Ia ngeloyor pulang.
Hatinya mendidih. Dendam.
Tekadnya bulat: ingin bikin
pabrik roti. Berhari-hari ia cari tahu: siapa juru masak pabrik roti itu. Ia
datangi rumahnya. Ia bawakan oleh-oleh untuk istrinya. “Kalau saya tidak
bawakan oleh-oleh bisa-bisa tidak boleh masuk rumahnya,” katanya bergurau.
Langsung ia tawarkan gaji dua
kali lipat. Dari Rp 15 ribu sebulan ke 30 ribu. Tawaran diterima dengan senang.
Tapi baru bisa bulan berikutnya. Ia tidak mau kehilangan gaji sebulan itu. Eka
tidak sabar. Dendamnya masih membara. Langsung saja dikeluarkan jurus
pamungkasnya: ia bayar gaji yang sebulan itu. Pabrik rotinya maju.
Tapi sulit mendapatkan gula.
Beli gula harus antre. Satu orang hanya boleh antre untuk 1 kg. Eka mencari pengantre
bayaran. Tujuh orang. Satu bulan bisa mendapat 10 ton. Eka pun
merinci. Berarti satu orang antre di 40 tempat sehari. Eka menjadi kaya
kembali. Ia berani membeli mobil. Rp 70 ribu harganya. Tapi harus inden.
Mobilnya baru tiba enam bulan kemudian.
Saat itulah temannya kesusahan.
Perlu uang. Menyerahkan mobilnya. Hanya dengan harga Rp 30 ribu. Jadilah Eka
punya dua mobil. Menjadi orang yang sangat terpandang. Waktu meninjau bekas
sekolahnya dulu sang kepala sekolah sendiri yang membukakan pintu mobilnya. Eka
banyak menyumbang ke sekolah itu.
Lalu terjadilah perang
kemerdekaan. Keadaan kacau. Jalur logistik putus. Pasukan bahan baku macet. Eka
bangkrut lagi. Untuk ketiga kalinya. Sekali lagi Eka tidak mau meninggalkan
utang. Ia sangat yakin kepercayaan adalah modal terpenting.
Dengan kepercayaan ia yakin
pasti bisa bangkit lagi. Kelak. Ia jual yang bisa dijual cepat. Termasuk dua
mobil kebanggaannya. Ia kembali naik sepeda. Saat bangkrut yang ketiga itulah
Eka merasa sangat sakit. Bukan soal hidup susah lagi. Tapi soal harga diri.
Orang yang dulu membukakan
pintu mobilnya pun tidak mau menyapanya lagi. Bahkan melengos saat disapa. Ia
sampai malu keliling Makassar dengan sepedanya. Ia merasa semua jari menuding
ke mukanya. Eka tidak tahan lagi. Dirinya merasa terhina. Ia pun minggat dari
Makassar. Menuju Malino. Daerah pegunungan sekitar 60 km dari Makassar.
Ia menghabiskan waktu di situ.
Dengan membaca. Ia memang gemar membaca. Enam bulan Eka retreat di Malino.
Barulah hatinya dingin. Ia kembali ke Makassar. Ingin mengerjakan apa yang bisa
dikerjakan.
Waktu itu, awal 1950, TNI
mengerahkan banyak pasukan ke Makassar. Untuk menumpas pemberontakan Andi Aziz.
Dan Kahar Muzakar. Tentara kekurangan logistik. Para pedagang tidak mau menjadi
pemasok. Khawatir pembayarannya macet. Eka mendengar itu. Mau. Satu-satunya
yang mau jadi pemasok.
Ia punya logika sendiri. “Ini
kan tentaranya pemerintah. Pemerintah sendiri. Sudah merdeka. Pasti punya uang.
Kalau pun tidak kan bisa cetak uang. Kan negaranya sendiri,” pikirnya. Eka
kembali akan mengandalkan kepercayaan.
Sebagai modal utamanya. Ia
datangi perusahaan dagang negara. Peninggalan Belanda. Seperti Geowehry. Ia
minta barang. Bayar belakangan. Minta waktu dua minggu. Seperti pembayaran yang
dijanjikan tentara. Ternyata dua minggu tidak ada pembayaran. Satu bulan tidak
ada. Satu bulan setengah juga tidak.
Eka datang ke Geowehry. Minta
maaf. Menceritakan apa adanya. Membawa semua berkas dan tagihan. Ia ceritakan
apa adanya. Tidak ada yang disembunyikan. Setelah lewat dua bulan pembayaran
cair. Sekaligus. Banyak sekali. Eka menjadi banyak uang lagi. Utangnya pun
lunas. Eka menjadi akrab dengan tentara. Tentara juga begitu. Merasa Eka orang
yang berjasa.
Kesempatan pun terbuka. Eka
boleh memanfaatkan kapal tentara. Yang pulang ke Makassar dalam keadaan kosong.
Setelah mengirim tentara ke Manado. Eka pun memuatinya dengan kopra. Yang
melimpah di Manado.
Dengan harga murah. Ia jual di
Makassar. Dengan harga tinggi. Jadilah Eka pedagang kopra. Ia sering pergi ke
Manado, Palu, Toli-toli, Maluku. Pusat-pusat kopra ia kuasai. Ia pun sudah
berani carter kapal. Untuk kirim kopra dari Manado ke Surabaya dan Jakarta.
Jaringan dagangnya kian luas.
Suatu saat ia sudah mengumpulkan 3 ribu ton kopra di Manado. Ia carter kapal
besar dari Jakarta. Untuk ukuran saat itu. Ketika kapal tiba pecahlah
pemberontakan Permesta. Terjadi perang. Eka menyelamatkan diri. Kopra 3 ribu
ton ia tinggal.
Kapal carterannya kembali ke
Surabaya hanya membawa dirinya. Eka bangkrut untuk keempat kalinya. Ia tidak
mau lagi tinggal di Makassar. Ia ingin pindah Surabaya. Di daerah yang lebih
aman. Yang memungkinkan bisnis berkembang.
Di Surabaya Eka ditampung di
kamar temannya. Ukuran 2 x 3 meter. Ia hanya membawa modal kepercayaan. Dan
nama baik. Ia pun menghadap Pangdam Brawijaya, Mayjen Basuki Rahmat.
Diijinkan pula mengisi kapal
tentara dengan barang dagangannya. Kapal itu berangkat ke Sulawesi membawa
bahan makanan. Balik ke Surabaya kosong. Hasilnya dibagi dua: tentara mendapat
25 persennya.
Di Surabayalah Eka berkembang
pesat. Dengan pabrik minyak kelapanya. Dari Surabaya merambah Indonesia. Tidak
pernah bangkrut lagi. Waktu saya berumur 40 tahun saya bertanya pada Pak Eka:
Apakah masih membayangkan bahwa suatu saat akan bangkrut lagi. Untuk kelima
kalinya. “Sekarang sudah tidak mungkin lagi bangkrut. Sudah terlalu besar untuk
bisa bangkrut,” katanya.
Itu tahun 1992. Diucapkan di
Surabaya. Kepada saya. Saat itu Pak Eka sudah menjadi orang terkaya kedua di
Indonesia. Setelah Liem Soe Liong. Pabrik minyak gorengnya sudah yang terbesar
di Indonesia. Pabrik kertasnya terbesar di Asia. Bisnis Grup Sinar Mas sudah
merambah ke segala arah.
Saya pernah ke Ningbo. Sudah
ada Bank International Ningbo. Miliknya. Saya ke Suzhou. Sudah ada pabrik
kertas sangat besar di sana. Saya ke Shanghai. Gedung pencakar langitnya sangat
menonjol di pusat kota Shanghai.
Waktu mengucapkan ‘tidak
mungkin lagi bangkrut’ kelihatannya Pak Eka tidak membayangkan: bakal terjadi
krisis moneter delapan tahun kemudian. Saat itu utang Sinar Mas mencapai
sekitar Rp 110 triliun. Kepada lebih 60 bank. Di lebih 40 negara.
Yang menagih pun sampai
kesulitan. Untuk berunding pun sulit. 60 bank dan 40 negara harus setuju.
Caranya maupun pembagian hasil penagihannya. Sampai-sampai utang itu distensil.
Dibekukan. Ini membuat Sinar Mas kembali jaya. Semua hasil penjualannya bisa
untuk menggerakkan operasionalnya. Tanpa mikir nyicil utang.
Memang Sinar Mas sempat
kehilangan Bank International Indonesia. Tapi Pak Eka benar: sudah terlalu
besar untuk bisa bangkrut. Sabtu lalu (26 Januari
2019, Menteng,
Jakarta Pusat, Jakarta) Pak Eka meninggal dunia. Meninggalkan
semua itu. Tapi juga meninggalkan pelajaran bisnis yang luar biasa
berharga.(dahlan iskan)
Sumber Artikel:
https://www.disway.id