Syaikh ‘Abdul
Qadir Jailani r.a berkata: Seorang mukmin terlebih dahulu mesti melaksanakan
yang fardhu. Apabila selesai dari yang fardhu, baru melaksanakan yang sunnah,
dan menyibukkan diri dengan berbagai macam ibadah tambahan (nawafiq) dan
utama (fadha’il) selama tidak meninggalkan yang fardhu.
Mengerjakan hal-hal
yang sunnah dan nawafil adalah keliru dan salah, jika tidak mengutamakan
yang wajib terlebih dahulu, karena tidak akan diterima bahkan terhina.
Perumpamaannya,
bagaikan seseorang yang dipanggil oleh seorang raja untuk melayaninya, lalu dia
tidak datang kepadanya dan malah melayani menteri yang merupakan anak buah dan
pembantu sang raja, dan dibawah kekuasaannya.
Ali bin Abi
Thalib k.w. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya orang yang
melaksanakan shalat sunnat, sedangkan dia masih punya kewajiban untuk
melaksanakan yang fardu, laksana perempuan hamil; maka ketika mendekati
kelahirannya, dia keguguran, sehingga dia tidak lagi hamil dan tidak melahirkan
anak. Begitu juga dengan orang shalat tadi, Allah tidak akan menerima shalat
sunnahnya hingga ia menunaikan yang wajib terlebih dahulu”.
Dan perumpamaan
orang yang shalat, bagaikan seorang pedagang yang tidak mungkin akan mendapatkan
keuntungan tanpa terlebih dulu menarik modalnya.
Begitu juga
dengan orang yang meninggalkan sunnah dan sibuk dengan nawafil yang
tidak dirangkaikan dengan yang fardhu, tidak ada nash-nya, dan tidak ada
penekanan sunnahnya.
Syaikh ‘Abdul
Qadir Jailani r.a berkata: Barangsiapa yang memilih tidur dibanding terjaga,
padahal terjaga itu menjadi sebab sadar dan waspada, maka dia telah memilih
yang lebih rendah dan hina yang mendekatkan dirinya dengan kematian dan
kelalaian terhadap semua urusan, karena tidur adalah saudara kematian. Itulah sebabnya
tidak ada tidur bagi Allah SWT, Karena Dia bebas dari segala kekurangan.
Begitu juga,
tidur tidak bisa menjadi predikat para malaikat, karena kedekatan mereka kepada
Allah SWT. Begitu pula ahli surga ketika mereka sampai pada derajat tertinggi,
tersuci, terdekat, dan termulia, tidak ada tidur bagi mereka, karena tidur
merupakan kekurangan bagi mereka.
Maka, semua
kebaikan di atas kebaikan adalah terjaga, dan kejelekan diatas semua kejelekan
adalah tidur dan lalai dari berbagai kemaslahatan.
Barangsiapa yang
makan dengan hawa nafsunya, maka dia akan makan banyak, minum banyak, tidur
banyak, maka akan banyak menyesal dan lama, serta banyak kebaikan yang hilang
darinya.
Dan barangsiapa
yang makan sedikit dari yang haram, sama dengan orang yang makan banyak dari
yang dibolehkan, dengan hawa nafsunya. Karena yang haram dapat menutupi
keimanan dan menyesatkannya (*), sebagaimana khamr
menyesatkan akal dan menutupnya. Dan apabila iman sudah ditutupi, maka
tidak ada lagi shalat, ibadah dan keikhlasan.
Dan barangsiapa
yang banyak makan dari yang halal karena perintah, maka dia laksana orang yang
makan sedikit darinya dalam semangat ibadah dan kekuatan.
Halal adalah cahaya dalam cahaya, dan haram adalah kegelapan
di dalam kegelapan, tidak ada kebaikan sedikitpun didalamnya.
Maka makan yang halal dengan nafsunya, tidak dengan perintah,
sama dengan makan yang haram, yang mengakibatkan tidur, yang tiada mengandung
kebaikan.
Catatan Penting:
(*) = Sahl at-Tsauri berkata: “Seorang hamba tidak akan mencapai
hakikat iman, sampai ia memiliki empat hal: yaitu menunaikan yang fardhu sesuai
dengan sunnah, memakan yang halal dengan wara’, menjauhi larangan baik yang
lahir maupun batin, dan sabar atas semua itu hingga kematian datang”.
Source Image: www.syahida.com