Pertanyaan:
Seringkali muncul dalam pikiran saya tanda Tanya tentang
eksistensi Tuhan. Sesungguhnya Tuhan itu berada di mana? Lalu bagaimana
kaitannya dengan ayat al-Qur’an yang menjelaskan posisi Tuhan yang berada di
langit dan di bumi?
Jawaban:
Al-hamdulilláh, wash-shalátu was-salámu ‘alá Rasúlil-Láh.
Wa ba’du. Semoga Allah SWT senantiasa merahmati kita semua. Amin
Menanggapi pertanyaan saudara seputar eksistensi Tuhan ada
di mana? Jawabannya, sesungguhnya Tuhan itu tidak di mana-mana. Sebab, jika Dia
berposisi, berarti Dia berada di suatu tempat. Padahal Tuhan itu tidak mungkin
bertempat, karena Dia wajib memiliki sifat Qiyámuhu Binafsihí.
Artinya, Tuhan itu Dzat yang tidak butuh dzat lain untuk
ditempati, serta tidak butuh pada fa’il (pencipta), sesuai dengan firman
Allah SWT: innal-Láha ghaniyyun ‘anil-‘alamín. Allah tidak butuh pada
alam untuk di tempati atau sebagai fa’il yang mewujudkan-Nya.
Di samping penjelasan di atas, kalau ternyata Tuhan ada di
mana-mana (dalam arti bertempat atau membutuhkan tempat), maka hal tersebut
tidak sesuai dengan definisi Tuhan, yakni Dzat yang tidak butuh kepada segenap
yang lain, sedangkan segenap selain Tuhan pasti membutuhkan-Nya.
Dengan demikian, Tuhan itu tidak butuh kepada yang lain,
termasuk pula tidak butuh kepada tempat, yang berarti tidak cocok kalau di
pertanyakan Tuhan ada di mana?
Adapun dawuh al-Qur’an al-Karim, kalau tidak keliru
bunyinya, huWal-Láhu al-ladzí fis-Samá’ iláh wa fil-ardh iláh, artinya
adalah: Allah itu adalah Tuhan yang di sembah di langit dan juga Tuhan yang di
sembah di bumi.
Jadi orang-orang yang menyembah Allah itulah yang bertempat
di langit dan di bumi, bukannya Tuhan. Allah SWT wajib memiliki sifat Qiyámuhu
Binafsihí yang tentunya tidak sama dengan yang lain.
Perlu kita pahami, bahwa jika ada dawuh-dawuh al-Qur’an
al-Karim yang dipandang secara sepintas seolah-olah (lahirnya, red) menimbulkan
keserupaan menurut akal pikiran yang pendek, maka mestinya dawuh tersebut
harus kita serahkan kepada Allah SWT yang berfirman.
Kita beriman kepada Allah dan beriman pula pada apa saja
yang datang dari Allah SWT, tentunya menurut apa yang dikehendaki oleh Allah
(bukan interpretasi akal, ed) tanpa menyamakan dan menyerupakan-Nya
dengan yang lain.
Demikian pula halnya, kita tidak memunculkan pertanyaan
seperti apa Tuhan itu?, karena Allah SWT memiliki sifat wajib berupa Mukhálafah
lil-Hawádist (berbeda dengan yang lain). Allah berfirman: laisa ka
mitslihi syai’un wa huwas-sami’ul-bashir, tidak ada sesuatupun yang dapat
menyerupai Allah, Dialah Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat.
Wal-Láhu a’lam bis-shawáb
Source:
- Artikel ini dikutib dari buku “Bunga Rampai Dialog Iman-Ihsan” yang di terbitkan oleh Pustaka Pondok Pesantren SIDOGIRI, Pasuruan, Jawa Timur.
- Pertanyaan diatas ditanyakan oleh saudara Muhammad (Sidogiri) dan dijawab langsung oleh KH. A. Nawawi Abdul Djalil, Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri.
- Sumber gambar: nu.or.id
- Sumber gambar: nu.or.id