Pertanyaan:
Dalam
konsep teologi Sunni, di antaranya disebutkan bahwa Allah SWT itu memiliki
sifat Mukhálafah lil
Hawádíst (berbeda dengan makhluk). Padahal Allah SWT memiliki sejumlah
kesamaan dengan makhluk-Nya, seperti misalnya Allah SWT dan makhluk-Nya
sama-sama memiliki sifat wujud?
Lalu, bagaimana
pula dengan nash
al-Qur’an yang menyatakan bahwa Allah SWT istiwá (bersemayam) di ‘Arasy,
atau yadul-Láh (tangan Allah). Apa dengan demikian, Allah SWT tidak
memiliki keserupaan dengan makhluk?
Jawaban:
Al-Hamdu
lil-Láh ‘alá ni’matil-ímáni wal-Islámi wa taufíqihí wa kafá bihá min ni’mah. Wash-shalátu
was-salámu ‘alá rasúlil-Láhi sayyidiná Muhammadin wa ‘alá álihí wa shahbihí
ajma’in.
Al-Faqir ingin membahas tentang sifat-sifat wajibnya Allah
SWT yang masih banyak menimbulkan tanda Tanya. Diantara sifat-sifat itu adalah Mukhálafah
lil Hawádíst (berbeda dengan makhluk) Artinya, Allah SWT wajib berlainan
(tidak sama/tidak menyamai/tidak meyerupai) dengan Hawádist (hal yang
baru/makhluk).
Sifat Mukhálafah lil Hawádíst ini perlu dibahas lagi
sebagai berikut:
Pertama, Hawádíst itu mempunyai dua Jihhah (arah/segi). Jihhah yang
pertama, keberadaan (wujud) Hawádíst didahului oleh tidak ada (‘adam).
Jihhah yang kedua, Hawádist itu punya sifat Imkán (berkemungkinan).
Artinya, ketika Hawádist itu ada (wujud), mungkin keberadaannya
(wujudnya) masih akan terus dan mungkin juga akan selesai diganti oleh tidak
ada (‘adam). Begitu juga sebaliknya, ketika sesuatu itu tidak ada (‘adam),
mungkin ketidak-adaannya akan terus dan mungkin juga selesai dan diganti oleh
wujud.
Maka dengan adanya Jihhah yang kedua ini, bisa
dimengerti bahwa Allah SWT Mukhálafah lil Hawádíst dari segi Imkán-nya.
Artinya, Allah SWT Mukhálafah dengan Hawádist, sebab wujud-nya
Allah adalah wajib dzáti yang mustahil bisa di ubah menjadi ‘adam, baik
‘adam sábiq lil-wujud (tidak ada kemudian ada), atau ‘adam láhiq
lil-wujud (tidak ada yang didahului ada/ada kemudian tidak ada). Berbeda dengan
Hawádist yang wujudnya bersifat mungkin.
Dengan kata lain, bisa berubah menjadi ‘adam kapan saja
menurut masyí’atil-Láh (kehendak Allah SWT). Dengan demikian, maka Allah
SWT wajib bersifat Mukhálafah lil Hawádíst min jihhati imkánihá.
Kedua, kalau pertanyaan ini dijawab bahwa Allah SWT Mukhálafah pada ‘adam-nya,
maka tidak benar. Sebab Mukhálafah itu bisa terjadi bila keduanya sama-sama
wujud. Artinya, tidak ada Mukhálafah (pertentangan) pada dua
perkara yang tidak sama-sama wujud. Seperti dua perkara yang satunya wujud
yang satunya lagi ‘adam, karena keduanya Mutadhádatáni (saling
bertentangan).
Selanjutnya adalah sifat Qiyámuhu Binafsihi (mandiri).
Artinya, Allah SWT wajib berdiri sendiri, tidak butuh pada tempat dan mukhashshish/fa’il
(yang menjadikan).
Perlu diketahui bahwa:
1). Sesuatu itu ada Yang Maha Kaya, yakni tidak butuh pada
tempat, juga tidak butuh pada fa’il (yang menjadikan), yaitu Dzat Allah
SWT.
2). Ada yang butuh pada tempat dan fa’il seperti bumi,
manusia, dan lain-lain.
3). Ada sesuatu yang butuh pada fa’il tapi tidak butuh
pada tempat seperti akal, ruh, dan jauharul-fardi.
Jadi, seperti akal dan ruh itu punya sifat Qiyámuhu
binafsihi tapi hanya dalam arti tidak butuh pada tempat. Artinya tidak sama
dengan sifat Qiyámuhu Binafsihi yang menjadi sifat wajibnya Allah SWT,
karena yang dimaksud Allah wajib besifatan dengan Qiyámuhu Binafsihi adalah
Allah tidak butuh kepada dzat yang lain sebagai tempat, juga tidak butuh kepada
fa’il yang menjadikan. Bahkan Allah-lah yang menjadikan.
Dari uraian diatas bisa dimengerti, bahwa ayat-ayat al-Qur’an
al-Karim yang zháhir-nya memberi sangkaan bahwa Allah SWT
bertempat/mengambil tempat, harus ditakwil, seperti firman Allah Ar-rahman ‘ala-arsy
istiwá (bersemayam) di takwil dengan “istawla” (menguasai). Artinya,
Allah SWT menguasai ‘Arsy, karena di antara makna “istiwa” adalah “istawla”.
Source:
- Artikel ini dikutib dari buku “Bunga Rampai Dialog Iman-Ihsan” yang di terbitkan oleh Pustaka Pondok Pesantren SIDOGIRI, Pasuruan, Jawa Timur.
- Pertanyaan diatas ditanyakan oleh saudara Hakam Sf. Baihaqi (Banyuwangi) dan dijawab langsung oleh KH. A. Nawawi Abdul Djalil, Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri.
- Sumber gambar: amunisihijrah.com
- Sumber gambar: amunisihijrah.com