Pertanyaan 2:
Apa praktinya syákir dan syakúr yang disebut dalam
al-Qur’an? Karena keduanya sama-sama bermakna bersyukur kepada Allah SWT. Apa
itu ada perbedaan atau tidak? Terima kasih
Jawaban:
Pengertian syakur adalah menggunakan nikmat yang
telah diberikan oleh Allah SWT, seperti menggunakan nikmat yang berupa mulut
untuk berzikir atau beribadah kepada Allah SWT.
Sedangkan yang dimaksud orang itu syákir (melakukan
perbuatan bersyukur) adalah menggunakan nikmat Allah SWT hanya satu anggota
tubuh saja, misalnya hanya menggunakan kaki untuk berjalan menuju perbuatan
ibadah, ini kenyataanya syukur.
Adapun yang dimaksud syákúr (banyak bersyukur) adalah
menggunakan semua anggota tubuh yang dianugerahkan Allah SWT pada seorang hamba
pada saat bersamaan, yang praktiknya cukup sulit. Telah difirmankan oleh Allah
SWT dalam al-Quran surat as-Sabá’ ayat 13:
وَقَلِيْلٌ مِنْ
عِبَدِيَ السَّكُوْر
“sedikit sekali
hamba-Ku yang melakukan banyak syukur (syakúr). (QS. As-Saba’ 34:12)
Menurut ulama. Seorang hamba bisa dikatakan syakúr adalah
seperti contoh: dia memikul jenazah sambil tafakur akan semua makhluk Allah
SWT. Pada saat memikul jenazah, melihat dengan matanya, agar jenazah tidak
terjatuh akibat dia tersandung, mulutnya selalu berzikir kepada Allah atau
membaca baca yang dianggap perbuatan ibadah, hatinya juga ingat kepada Allah
SWT.
Tangannya sambil memegang jenazah yang dipikulnya,
telinganya sambil mendengar tausiah yang berupa perintah kebaikan dan larangan
melakukan kejelekan, yang semua itu dilakukan bersamaan.
Jadi, hamba yang syakúr (banyak bersyukur) itu jarang
dijumpai pada setiap hamba Allah SWT, sebagaimana telah disebutkan dalam
al-Qur’an, dikarenakan praktiknya sulit, seperti contoh di atas. Tidak sama
dengan syákir. Kita melakukan ibadah apa saja, meskipun hanya berzikir
dengan hati, itu sudah dikatakan orang yang syákir (bersyukur).
Dari penjelasan di atas cukup jelas, bahwa pengertian syákir
(orang yang bersyukur) dan syakúhr (orang yang banyak syukur) adalah
berbeda. Dan semuanya Allah SWT Yang Maha Mengetahui.
Source:
- Pertanyaan diatas ditanyakan oleh saudara Maksum (Bangkalan) dan dijawab langsung oleh KH. A. Nawawi Abdul Djalil, Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri.