Pertanyaan:
Kami ingin bertanya apakah kekuasaan dan kehendak Allah memang
terbatas? Mengingat ta’alluq-nya
hanya jami’il-mumkinát (pada segenap hal-hal yang mungkin). Sejauh
manakah hal-hal yang mustahil tidak di-ta’alluq-i?
Jawaban:
Menurut ulama mutakallimín (ahli ilmu kalam/tauhid), ta’alluq-nya
Qudrah dan Iradah Allah SWT pada sesuatu yang mumkin adalah ta’alluq takhshish
dan ta’tsir, yang isinya adalah mewujudkan barang yang mungkin wujud
dan mentiadakan barang yang mungkin tiada.
Dengan demikian, Qudrah dan Iradah Allah SWT tidak bisa ber- ta’alluq
pada sifat-sifat yang wajib bagi Allah (karena apapun yang wajib bagi Allah
pasti ada) atau pada sifat-sifat yang mustahil bagi Allah (karena apapun yang
mustahil bagi Allah SWT pasti tiada, misalnya Allah mumpunyai anak).
Akibat yang akan terjadi jika Qudrah dan Iradah Allah SWT ber- ta’alluq
pada barang yang wajib ialah:
1). Tahshilul-háshil (menghasilkan sesuatu yang sudah hasil
atau mewujudkan sesuatu yang sudah wujud), bila ta’alluq-nya berupa íjád
(mewujudkan);
2). Menentang kenyataan bila ta’alluq-nya berupa I’dám (mentiadakan).
Dan sebaliknya, jika Qudrah dan Iradah-nya Allah SWT ber- ta’alluq
pada barang mustahil, maka akan mengakibatkan:
1). Qalbul-haqá’iq bila ta’alluq-nya berupa íjád,
2). Tahshilul-háshil bila ta’alluq-nya berupa I’dám
Contoh sederhanya, jika Qudrah dan Iradah Allah ber- ta’alluq pada
wajib dan mustahil adalah kemungkinan bahwa Allah SWT kuasa menghapus ketuhanan
dan memberikan kepada orang lain.
Menurut Saya, kurang tepat bila diistilahkan Qudrat dan Iradah
Allah SWT terbatas, sebab keduanya tidak berhubungan dengan wájibát dan mustáhilát,
tetapi pada segala sesuatu yang mungkin ada/terjadi atau tidak, itu sudah
menjadi ketentuan.
Sebagai perbandingan, silet yang tajam sekali tidak bisa dikatakan
tidak tajam jika ia tidak sanggup memotong
besi, karena kegunaan silet hanya untuk memotong benda ringan seperti
kertas.
Walhasil, kakuasaan Allah SWT tidak terbatas.
Source:
- Artikel ini dikutib dari buku “Bunga
Rampai Dialog Iman-Ihsan” yang di terbitkan oleh Pustaka Pondok
Pesantren SIDOGIRI, Pasuruan, Jawa Timur.
- Pertanyaan diatas ditanyakan oleh saudara Faiz,
(Blega, Bangkalan) dan dijawab langsung oleh KH. A. Nawawi Abdul Djalil,
Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri.
- Sumber gambar: erabaru.net