Pertanyaan:
Kami bertanya ketidakpatuhan Ashhábusy-Syafi’i (ulama-ulama
Syafi’iyah) mengenai cara berpendapat dalam pencetusan hukum. Sebab banyak
sekali Ashhábusy-Syafi’i itu yang berseberangan pendapat dengan pendapat imam
Asy-Syafi’I, tapi masih tetap dinisbatkan pada mazhab Syafi’i. Apa itu dapat
dibenarkan? Dan apakah tindakan Ashháb seperti itu tidak termasuk su’ul adab
pada Imam Syafi’i. syukron.
Jawaban:
Dalam berpendapat, memang ada potensi untuk berbeda pada
setiap orang, dan perbedaan pendapat itu merupakan suatu karunia, sepenjang
perbedaan itu tidak menyesatkan. Kalau kita renungkan, kadangkala perbedaan itu
bisa membawa hikmah bagi umat ini. Nabi Muhammad SAW sendiri bersabda yang
artinya,”perbedaan dalam umatku adalah sebuah rahmat (dari Allah SWT)”.
Sementara perbedaan antara Ashhábusy-Syafi’i dengan
imam asy-Syafi’i, kalau dikaji lebih mendalam, bukanlah perbedaan yang
sesungguhnya. Karena imam syafi’i sendiri telah menyatakan, “jika hadis itu
betul-betul dinyatakan shahih, maka isi hadis itu adalah mazhabku.”
Oleh karenanya, jika ditinjau dari perkataan imam Syafi’i ini,
bisa kita simpulkan bahwa perbedaan antara Ashhábusy-Syafi’i dan imam
Syafi’i untuk kasus seperti ini bukanlah perbedaan. Karena para Ashhábusy-Syafi’i
menelorkan perbedaan itu berlandasan dalil hadis yang mereka pandang lebih shahih.
Atau Ashhábusy-Syafi’i berpendapat itu dengan masih
tetap bertendensi pada cara istinbáth atau Qiyás melalui kaidah
imam Syafi’i, maka pendapat itu tetap digolongkan mazhab Imam Syafi’i. hal ini
juga bukanlah perbedaan yang sesungguhnya, karena yang menjadi acuan masih
nalar Ushul Fiqih dan Kaidah Imam Syafi’i.
Dan kadangkala perbedaan itu dikarenakan pendapat imam
Asy-Syafi’i dianggap sulit untuk diamalkan oleh umat, seperti dalam pemberian
harta zakat yang batas minimalnya diberikan pada tiga golongan saja, maka Ashhábusy-Syafi’i
mempunyai inisiatif dengan
mengadakan pengkajian ulang pendapat imam Syafi’i, sehingga ada Ashhábusy-Syafi’i
yang berpendapat menganggap cukup
zakat diberikan pada satu golongan saja.
Ibnu Ajil al-Yamani menyatakan, Ashhábusy-Syafi’i berbeda pendapat secara mencolok dengan imam
Syafi’i dalam tiga hal.
Pertama, memindah zakat dari satu daerah ke daerah
yang lain.
Kedua, memberikan pada satu orang saja.
Ketiga, memberikan pada satu golongan saja dari
delapan golongan yang berhak menerima zakat.
Untuk tiga hal ini imam Syafi’i berpendapat tidak boleh. Sedagkan
Ashhábusy-Syafi’i berpendapat
boleh. Bahkan Ibnu Ajil sendiri menambahkan, andaikan Imam Syafi’i masih hidup,
niscaya beliau akan berfatwa seperti Ashhábusy-Syafi’i ini.
Dan kadangkala Ashhábusy Syafi’i berpendapat
tidak sama dengan Imam Syafi’i, karena melihat pada qaul qadim Imam
Syafi’i (fatwa lama beliau waktu berada di Irak). Hal itu bisa terjadi jika
mereka melihat qaul qadim dari sisi dalil lebih unggul dari qaul
jadíd (fatwa baru Imam Syafi’i waktu menetap di mesir). Maka dari situ
mereka memandang qaul qadim-lah yang layak di amalkan.
Intiya, perbedaan Ashhábusy-Syafi’i dengan Imam Syafi’i
bukanlah perbedaan yang dipandang tercela atau melanggar etika. Karena ada tiga
kemungkinan,
1). Bisa melihat dalil yang lebih unggul.
2). Bisa melihat pada kaidah Istinbáth dari Imam
Syafi’i.
3). Bisa memandang pada kemaslahatan umat yang dirasa sulit
mengamalkan pendapat Imam Syafi’i. Tentu hal ini bukan yang dilarang sehingga sú’ul-adab
pada Imam Syafi’i.
Imam Syafi’i bijak, beliau tidak menyatakan dirinya yang
paling benar. Menurut beliau, orang selain beliau pun pendapatnya bisa saja
benar. Hal ini dilihat dari pernyataan beliau, “pendapatku benar, tapi di
munkingkan salah. Dan pendapat selain aku salah, tetapi dimungkinkan benar.” Dan Allah SWT mengetahui kebenaran sesuatu.
Source:
- Artikel ini dikutib dari buku “Bunga Rampai Dialog Iman-Ihsan” yang di terbitkan oleh Pustaka Pondok Pesantren SIDOGIRI, Pasuruan, Jawa Timur.
- Pertanyaan diatas ditanyakan oleh saudara M. Ja'far Shodiq (Malang) dan dijawab langsung oleh KH. A. Nawawi Abdul Djalil, Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri.