Pertanyaan:
Seseorang ketika punya pusaka (seperti keris, ajimat,
cincin, dan lain sebagainya), ia percaya sepenuh hati pusaka itu berkhasiat
istimewa (seperti penangkal hujan, menolak bala’, pesugihan dan semacamnya). Yang
saya tanyakan, bagaimana cara bersikap atas pusaka itu? Sebab, seperti contoh
tetangga saya, ada yang punya keris, ketika mendung tanda akan turun hujan
datang, keris itu dihadapkan ke atas langit. Ternyata kemudian mendung hilang
(tidak hujan) dan orang yang punya itu bangga dengan berkata pada orang-orang, “kalau
ada keris saya, pasti tidak akan jadi turun hujan”.
Jawaban:
Kepercayaan terhadap benda pusaka dan lain sebagainya itu
adalah bermcam-macam.
1). Ada yang percaya bahwa benda tersebut berkhasiat kebal,
penangkal hujan, dan lainnya adalah memang dari tabiat/watak benda itu sendiri.
Maka kepercayaan / iktikad semacam ini adalah kafir.
2). Ada yang percaya bahwa benda tersebut yang berkhasiat
kebal dan lainnya adalah karena benda itu punya kekuatan yang diletakkan oleh
Allah SWT pada benda tersebut. Maka beriktikad bahwa benda itu berkhasiat kebal
dan lainnya karena kekuatan tersebut, iktikad semacam ini adalah bid’ah, juga
salah dan tidak cocok dengan iktikad orang-orang Islam.
3). Ada yang percaya / beriktikad bahwa semua barang / dzat yang selain Dzat Allah SWT tidak ada yang
berkhasiat apapun. Sebab Allah wajib bersifat Wahdániyyát fídz-Dzat (satu
dalam Dzatnya), dan Wahdaniyyát fíl-Af’al (satu dalam perbuatannya). Kepercayaan
ini adalah kepercayaan yang benar dan selamat.
Adapun kalau ada kejadian pada waktu membawa keris dan
tombak kok tidak apa-apa, yakni orang itu kebal, atau orang yang lapar
setelah makan nasi satu piring kenyang, ini adalah karena orang yang
bersangkutan dikebalkan oleh Allah SWT bersamaan (muqáranah) dengan
membawa keris, dan orang lapar setelah makan nasi itu, adalah karena orang yang
makan dikenyangkan oleh Allah bersamaan dengan orang yang bersangkutan sedang
makan.
Memang sudah sunnatullah / ‘ádatul-Láh bila Allah SWT
membuat sesuatu / mewujudkan apa-apa, maka oleh Allah dibarengkan / bersamaan
dengan suatu perkara, misalnya Allah SWT membuat/ mewujudkan kenyang pada Zaid
dibarengkan dengan makan nasi dan menahan hujan dibarengkan dengan memasang
keris. Itu semua sudah menjadi ‘ádatul-Láh/sunnatullah.
Wa ammá fíl-haqíqah kullu fi’lin min af’álil-Láh, laysa
lighairihí ta’álá fi’lun minal-af’ál li’annal-Láh ta’álá wáhidun fil-‘ál .Artinya
(Adapun dalam hakikatnya, setiap perbuatan adalah perbuatan Allah SWT . yang
selain Allah tidak memiliki perbuatan. Karena Allah SWT satu [wahdániyyát]
dalam perbuatan-Nya). Wal-Láhu a’lam.
Source:
- Pertanyaan diatas ditanyakan oleh saudara Mu'idi (Bangkalan) dan dijawab langsung oleh KH. A. Nawawi Abdul Djalil, Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri.