Pertanyaan:
Disebutkan dalam al-Qur’an bahwa Allah SWT dan para
malaikat bersalawat pada Nabi Muhammad SAW, dan kita selaku umat islam
diperintahkan bersalawat kepada Nabi. Yang kami tanyakan, dalam salawat itu kan
banyak peninjauan, kalau dari Allah SWT adalah rahmah, kalau dari malaikat
adalah istigfar (memintakan pengampunan), dan kalau dari orang Islam adalah
berdoa.
Kalau dari malaikat beristigfar, berarti Nabi Muhammad
SAW masih punya dosa, padahal beliau adalah ma’sum atau dijaga untuk
mengerjakan sesuatu yang dilarang oleh Allah SWT. Apakah mungkin Nabi SAW masih
punya dosa? Atau salawat malaikat pada Nabi itu bukanlah istigfar, karena takut
su’ul-adab pada kedudukan Nabi? Mohon dijelaskan.
Jawaban:
Memang Allah SWT bersalawat kepada Nabi Muhammad SAW dengan
cara memberi rahmat disertai ta’zhim (mengagungkan) kepada Nabi SAW.
orang Mukmin juga bersalawat kepada Nabi dengan cara berdoa kepada beliau. Dan
para malaikat bersalawat kepada Nabi dengan cara beristigfar (meminta
pengampunan atas diri Nabi Muhammad SAW).
Sedangkan pengertian dari “malaikat bersalawatt dengan
cara beristigfar pada Nabi” adalah bukan menafikan ke-ma’shum-an
Nabi dari perbuatan dosa atau maksiat. Tapi maksudnya adalah derajat Nabi SAW
itu sudah ada pada maqam (kedudukan) Muqarrabin yang tingkatannya
paling tinggi.
Kalau sudah berada pada maqám Muqarrabin, maka
kebaikan yang dilakukan oleh abrár (orang-orang bagus yang masih belum
mencapai tingkatan MuqarrabinI), untuk Muqarrabin adalah kurang
baik (jelek).
Maka istigfar para malaikat kepada Nabi Muhammad SAW itu
termasuk dalam perkataan ulama tasawuf, “Hasanátul-Abrár
sayyi’átul-Muqarrabin” (perbuatan baik [yang bukan maksiat] dari
orang-orang yang masih tingkatan Abrár itu termasuk kejelekan bagi orang
yang kedudukannya ada di tingkatan Muqarrabin)
Jadi, istigfar dari malaikat kepada Nabi SAW itu termasuk
bab “Hasanátul-Abrár sayyi’átul-Muqarrabin” , yang berarti perbuatan
yang menurut Muqarrabin itu jelek (sedangkan menurut Abrár itu
baik) itu dimintakan ampunan oleh para malaikat. Wal-Láhu a’lam bish-shawáb.
Source:
- Artikel ini dikutib dari buku “Bunga Rampai Dialog
Iman-Ihsan” yang di terbitkan oleh Pustaka Pondok Pesantren SIDOGIRI,
Pasuruan, Jawa Timur.
- Pertanyaan diatas ditanyakan oleh saudara Zamrani (Bangkalan) dan
dijawab langsung oleh KH. A. Nawawi Abdul Djalil, Pengasuh Pondok Pesantren
Sidogiri.
- Sumber gambar: islam.nu.or.id