Pertanyaan:
Mengapa kalau kita beribadah dengan niatan taqarrub bil-Láh
(mendekatkan diri kepada Allah SWT) masih dikatakan Riya’? (Minahus-Saniyyah
bab Daqá’iqur-Riya’).
Jawaban:
Lafal “Riya’” berasal dari kata “Ru’yah” (pandangan).
Jadi betul memang termasuk Riya’ khafi (samar), dikarenakan dalam
ibadahnya ada yang dilihat atau dipandang selain beribadah karena Allah SWT,
yaitu masih melihat atau ingin Taqarrub Bil-Láh. Tapi ibadah semacam ini
tetap mendapat pahala.
Dalam kitab Is’ádur-Rafiq disebutkan, riya’ ada dua
macam. Pertama, Riya’ mubáh (yang diperbolehkan). Kedua, Riya’
muharram (yang diharamkan). Yang bisa menghapus pahala ibadah adalah Riya’
muharram.
Dan menurut kitab Syarhul-Hikam, orang yang beribadah
semacam ini (taqarrub bil-Láh) termasuk orang yang mengandalkan amal (I’timád
‘alal-‘amal) dan termasuk orang yang jauh dari Allah SWT (thalabuka
lit-taqarrub minal-Láh ghaibatun minka minal-Láh; upayamu untuk mendekatkan
diri kepada Allah itu artinya kamu tidak dapat menyaksikan Allah SWT dengan
mata hatimu).
Ibadah semacam ini termasuk Riya’, karena dianggap seperti
pekerjaan yang butuh imbalan.
Ibadah yang masih ada tujuan taqarrub bil-Láh ini juga
tetap dianggap ikhlas, tapi tingkat menengah. Sebab, ikhlas dalam ibadah itu
ada tiga tingkatan;
Pertama, ikhlashul-‘ubbad (ikhlasnya ahli ibadah), yaitu beribadah kepada Allah SWT masih
ada niat agar bisa masuk surga dan di jauhkan dari neraka.
Kedua, ikhlasul-muridin was-sálíkín (ikhlasnya penempuh jalan
tasawuf/tarekat), yaitu beribadah kepada Allah tidak karena surga dan tidak
pula takut karena neraka, bahkan karena niat agar wushul dan taqarrub
kepada Allah SWT.
Ketiga, ikhlasul-‘arifin (ikhlasnya ahli ma’rifat atau wali), yakni beribadah kepada Allah
SWT semata-mata karena Allah, yang dipandang hanyalah Allah, tidak membaca dan
melihat suatu apapun kecuali hanya Allah.
Source:
- Pertanyaan diatas ditanyakan oleh saudara Aini
(Bagandan, Pamekasan) dan dijawab langsung oleh KH. A. Nawawi Abdul
Djalil, Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri.