Pertanyaan:
Saya masih kurang begitu paham mengenai praktek yang dilakukan
orang Nahdhliyin (warga NU) yang melakukan pengajaran terhadap orang meninggal
dunia (dikenal dengan istilah talqinul Mayit/ mengajari orang yang sudah mati. Apa
ada gunanya mengajari orang mati seperti praktek diatas? Kalau orang hidup,
memang sudah jelas ada manfaatnya mengingat hidup ini butuh pembekalan dalam
menunaikan kewajiban agama. Kepada bapak Kiai, mohon penjelasannya.
Jawaban:
Sebenarnya, dalam praktek yang dikerjakan kaum nahdliyin, yakni melakukan
Talqinul-Mayit itu bukannya mengajari orang mati dengan artian sama
dengan mengajari orang hidup. Memang menjadi keharusan bagi orang hidup
menuntut ilmu, sebagaimana disabdakan Nabi Muhammad SAW bahwa menuntut ilmu itu
sejak keluar dari rahim ibu sampai masuk ke liang lahat. Sedangkan untuk orang
mati, kewajiban itu sudah tidak ada.
Oleh karenanya, dalam praktek Talqinul-Mayit itu pada
hakikatnya bukan mengajari orang mati, melainkan hanya sekadar mengingatkannya
pada apa yang ia akan hadapi, berupa pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir yang
dalam waktu singkat akan segera datang.
Dan hal itu bukanlah suatu hal yang asing bagi kita. Misalnya ada
orang sedang tertimpa suatu kejadian besar, umpamanya kebakaran, banjir, dan
lain sebagainya, maka tentu saja orang dalam keadaan seperti itu berada dalam
kondisi tidak stabil dan panik, dan apa-apa yang sebelum peristiwa itu biasanya
juga ia lupa dan tidak ingat lagi, dikarenakan jiwanya goncang dengan peristiwa
itu.
Demikian pula orang yang meninggal dunia. Ketika ia mengalami
peristiwa besar, yaitu kematian, tentunya ia kaget dan lupa pada apa yang
sebelumnya ia ingat. Maka dalam kondisi seperti itulah dalam Islam disyari’atkan
Talqinul-Mayyit, yang diantara
hikmah filosofisnya adalah untuk mengingatkan mereka akan pertanyaan dua
Malaikat, yaitu malaikat Munkar-Nakir.
Jadi, Talqin itu tidak untuk mengajari orang mati, dan
Allah SWT yang mengetahui kebenaran segala sesuatu.
Source:
- Pertanyaan diatas ditanyakan oleh saudara Ahmad Siwan (Bangkalan) dan
dijawab langsung oleh KH. A. Nawawi Abdul Djalil, Pengasuh Pondok Pesantren
Sidogiri.